Sabtu, 18 Juni 2011

askep stevens johnson syndrome

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdrNj70M6thtyEmtyiddNn15LsdkJhIuA_dVacjTimITboSn4Ol_-bN4TZSPldQcRY7J97TXusAbDUxm1G-bVFj9R6SJ9sciRbJCIoXgFx9m2zl2BezCqjKDo5nG-4WlF8GaamyTUkqchA/s400/sjs+1.jpg

I.                   Anatomi fisiologi
Hipersensitif
Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu :
1.      Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.
2.      Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik.
3.      Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun.
4.      Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel.

Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.



REAKSI ANAFILAKTIK

            Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya
.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat  dan lambat
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBwTFt90bdTkGk8FnitFsZ_OKjAC5oifFerVpier7bNtoSSBg_28N4WfRr4Lt9xyDTcfkW4D8wI4mZiS6HNkHQL26r_wWYu0Z0meOlLnNSz_LLYRFs9nuol3NfkhX_GinxnOv0z-VmMQc/s320/hipersensitif+Tipe+II.jpg









REAKSI SITOTOKSIK


Antibodi (igG dan IgM) menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan, misalnya pada penyakit anemia hemolitik.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF1jSXwvMGKsbzGpL1TVHgZF3nu6nJkV5x_3mRluetxsJT2v5899xChOUqufY73Ha2vClrM96i9LElKKp8uyZMmCOzRtBaLYpvNXQ3tD9rcnyMJlDnxm93ds7FRWQbvyfdwZEyDRtwG4A/s320/hipersensitif+tipe+III.jpg


REAKSI KOMPLEKS IMUN

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF1jSXwvMGKsbzGpL1TVHgZF3nu6nJkV5x_3mRluetxsJT2v5899xChOUqufY73Ha2vClrM96i9LElKKp8uyZMmCOzRtBaLYpvNXQ3tD9rcnyMJlDnxm93ds7FRWQbvyfdwZEyDRtwG4A/s320/hipersensitif+tipe+III.jpg

REAKSI YANG DIPERANTARAI SEL

            Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.
Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs.

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.


II.                Pengertian
            Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di oritisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura.
            Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
            Steven johnson merupakan syndrom kelainan kulit pada selaput lendir orifisium mata gebital. Prediksi : nulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, melaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Syndrom steven johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M. steven dan S.C johnson, 1992 syndrom steven johnson yang bisa disingkat SJS merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.


III.             Etiologi
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif. Sindrom Stevens Johnson adalah penyakit kulit yang potensial menyebabkan kematian yang biasanya diakibatkan reaksi obat. Penyakit lain yan bekaitan dengan obat yakni penyakit Toksik Epidermal Nekrolisis. Kedua penyakit itu sangat menyakitkan dan mematikan. Pada banyak kasus, penyakit ini banyak disebabkan oleh reaksi obat, dan salah satu obat yang diketahui akhir-akhir ini yang dapat menimbulkan penyakit tersebut adalah obat golongan cox-2 inhibitor Bextra (valdecoxib). Obat dan penyakit keganasan adalah penyebab tersering sindrom ini pada orang dewasa dan lansia. Pada kasus pediatrik, sindrom ini lebih banyak berkaitan akibat infeksi dibanding penyakit keganasan ataupun reaksi obat. Pada pasien dengan sindrom ini ditemukan 2/3 nya dengan riwayat penggunaan obat sulfa dan penisilin, dan lebih dari setengahnya berkaitan dengan infeksi pernafasan bagian atas.

1.      Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan dengan timbulnya sindrom ini adalah sebagai berikut:
       Carbamazepine (Tegretol – pengobatan anti kejang)
       Cotrimoxazole (Septra, Bactrim dan berbagai nama generik dari trimethoprim-sulfazoxazole). Ini adalah golongan sulfa antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih dan mencegah infeksi pada telinga
       Sulfadoxine dan pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria dan pada anak dipakai pada pasien dengan penyakit immunodefisiensi


2.      Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini meliputi:
·         Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
·         Bakteri: termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera, Fracisella tularensis, Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent agina, Legionaire, Vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae, mycoplasma pneumonia tularemia and salmonella typhoid.
·         Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan histoplasmosis.
·         rotozoa: malaria and trichomoniasis.
3.      Neoplasma dan faktor endokrin
4.      Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5.      Makanan



Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson
Infeksivirus
jamur
bakteri
parasit
Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia
koksidioidomikosis, histoplasma
streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela
malaria
Obat
salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
Makanan
Coklat
Fisik
udara dingin, sinar matahari, sinar X
Lain-lain
penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)
·         Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.
·         Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
·         Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.





IV.             Patofisiologi

1.      Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
2.      Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
3.      Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
4.      Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
5.      Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

V.                Tanda dan gejala
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
·         Kelainan kulit
·         Kelainan selaput lendir di orifisium
·         Kelainan mata
1.       Kelainan Kulit
            Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2.      Kelainan Selaput lender di orifisium
            Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
            Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
            Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3.      Kelainan Mata
            Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.

VI.             Komplikasi

  1. Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada.
  2. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah,
  3.  gangguan keseimbangan elektrolit
  4.  syok.
  5.  Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
VII.          Pemeriksaan penunjang

1.      Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2.      Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3.      Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
4.      Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.
5.      Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
6.      Determine renal function and evaluate urine for blood.
7.      Pemeriksaan elektrolit
8.      Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
9.      Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan
10.  Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis

VIII.       Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1.       Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2.       Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
3.       Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4.       Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5.       Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6.       Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7.       Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
8.       Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Pada  sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat. Penggunaan obat kostikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan Deksamethason secara intravena, dengan dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya imunitas, karena itu bila perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksi. Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspekrum luas dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat diberikan infuse berupa Dekstrose 5% dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit  pada tempat yang erosif dapat diberikan sofratul atau betadin.









ASUHAN KEPERAWATAN
  1. Pengkajian
a.        Data Subyktif
·         Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan  nyeri tenggorokan / sulit menelan.
b.      Data Obyektif
·         Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
·         Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan pseudomembran di faring
·         Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
c.        Data Penunjang
·         Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
·         Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
·         Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
  1.  Diagnosa Keperawatan
1.      Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
2.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelanGangguan rasa nyaman,
3.       nyeri b.d. inflamasi pada kulit
4.      Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
5.      Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis


3.  Perencanaan


No
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Tindakan
Rasional
1.
Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Tujuan :
Kerusakan integritas kulit menunjukan perbaikan dalam waktu 7-10 hari
Kriteria hasil :
menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
·         Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi. Berikan pakaian yang tipis dari bahan yang menyerap
·         Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut

·         Jaga kebersihan alat tenun
·         Kolaborasi dengan tim medis
·         menentukan garis dasar dimana perubahan kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhanmetabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan
·         menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
·         untuk mencegah infeksi
·         untuk mencegah infeksi lebih lanjut
2.
Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh b.d sulit menelan
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi selama perawatan
Kriteria hasil :
menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

·         Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai

·         Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
·         Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
·         Kerjasama dengan ahli gizi
Rasional:
·         memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan

·         membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
·         meningkatkan nafsu makan

·         kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan




DAFTAR PUSTAKA
6.      Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4.
7.      Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
8.      Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44.
9.      Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 1164–73.


 PHATWAY
Etiologi + factor resiko
Gangguan imunoregulasi
Sel – T supersor menjadi abnormal
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan
Terjadi inflamasi
Menstimulasi antigen
Merangsang antibody tambahan
Peningkatan autoantibody yang berlebihan
Mempengaruhi


System muskuluskeletal
·         Atralgia
·         Atritis
·         Sendi nyeri dan bergerak
·         Nyeri saat bergerak
·         Rasa kaku pada pagi hari

v  Nyeri akut/kronis
v  Gangguan mobilitas fisik
v  Gangguan kenyamanan

 

System perafasan
Pleuritas/efusipleura
Gangguan pola nafas






System integument
Butterfly rush
Ruam disekitar kulit
Gangguan citra diri

System pencernaan
Mual muntah
Anoreksia


System perkemihan
·         Proteinuria
·         Hematuria


System kardiak
Perikarditis
Resiko infeksi
Demam
hipertensi






Tidak ada komentar:

Posting Komentar